Perkuat Pendidikan Seksualitas Islam dalam Menanggulangi Kekerasan Seksual di Masa Pandemi
Berdasarkan laporan CATAHU (Catatan Tahunan) Komisi Perlindungan dan Perempuan tahun 2020 tercatat sebanyak 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah kasus ini tergolong berkurang dari CATAHU 2019 yang menyatakan sejumlah 431.471 kasus. Namun, kondisi tersebut sangat meresahkan sebab, satu dari tiga perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual. Disamping itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyatakan, dari awal tahun 2021 hingga 16 Maret, tercatat 426 kasus kekerasan seksual dari total 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (Kompas.com, 2021). Selanjutnya CATAHU 2021 menunjukkan kasus yang berbeda tentang meningkatnya angka dispensasi kawin, hal ini juga telah direkap oleh oleh Peradilan Agama seluruh Indonesia. Dispensasi kawin merupakan pengecualian izin kawin yang diberikan pengadilan agama kepada calon mempelai dibawah usia 19 tahun melanjutkan jenjang perkawinan. Jumlah dispensasi kawin pada tahun 2020 terekam sebanyak 64.211. Angka ini meroket tiga kali lipat dibandingkan tahun 2021 yaitu sebanyak 23.126.
Di kala pandemi, keluarnya kebijakan bekerja di rumah (Work from Home) telah memunculkan indikasi kekerasan seksual online atau yang dikenal dengan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Menurut CATAHU Komnas Perempuan 2021, menyatakan angka dari tahun 2020 melonjak hingga 940 kasus. Dalih ini diindiksi dari beralihnya cara berkomunikasi langsung ke media sosial. Dengan begitu, cara ini memberikan peluang besar para pelaku kekerasan seksual dengan mudah melakukan aksi tersebut. Adapun bentuk pelecehan seksual yang sering diterima para korban saat WFH adalah candaan seksual, pengiriman konten seksual tanpa persetujuan penerima, sindiran bentuk fisik, rayuan seksual, dan digosipkan terkait perilaku seksual yang tidak realistis. Menurut Neira Ardaneswari, co-founder Tabu.id, komunitas daring peduli isu seksual anak muda, menjelaskan secara umum banyaknya yang menyepelekan praktik KBGO. Padahal KBGO memiliki dampak besar yang berimbas dalam kehidupan sehari-hari (Kompas.com, 2021).
Melihat dari kacamata melonjaknya kasus kekerasan seksual sesuai dengan fenomena gunung es, banyak korban memilih bungkam untuk menyuarakan keadilan. Namun, dari beberapa kasus kekerasan seksual yang telah dilaporkan di badan hukum hanya ada 30 persen yang dapat diproses. Ironi ini menunjukan penegakan hukum kekerasan seksual masih sangat lemah, termasuk dalam penggarapan RUU PKS yang tidak kunjung disahkan (DPR RI, 2021). Tidak berhenti sampai disitu, belum diberikannya secara maksimal pemenuhan hak-hak korban, perlindungan dan pemulihan psikologis korban dan rasa aman (Pasal 28 G Ayat 1), dan bebas dari diskriminasi apapun yang justru hanya berfokus pemidanaan pelaku. Oleh sebab itu, sebagai seorang korban kekerasan seksual terutama perempuan memerlukan pertahanan diri dalam menghadapi kekerasan seksual. Sehingga pentingnya seseorang memperkuat pendidikan seksualitas islam dalam menanggulangi kekerasan seksual di masa pandemi.
Berikut ini ada beberapa hal dalam memperkuat pendidikan seksualitas islam dalam menanggulangi kekerasan seksual di masa pandemi yakni, Pertama, Pendidikan Seksualitas yang terintegrasi dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Agama Islam merupakan agama yang kompleks dalam membahas segala perkara, termasuk kekerasan seksual. Substansi Pendidikan Agama Islam tersusun dari al-Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Dan Tarikh. Penguatan pendidikan seksualitas dikuatkan pada studi al-Qur’an Hadits, aqidah akhlak (kelakuan bejat para pelaku seksualitas) dan Fiqih (cara memelihara, menjaga, membersihkan organ reproduksi manusia). Sedangkan dalam proses penyusunan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran kenan memperhatikan isu kontemporer saat ini, termasuk seksualitas. Menurut (Mutimmatul Faidah, 2010) ada beberapa fase investigasi tentang ‘‘Integrasi Pendidikan Seks Dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam’’ dalam merancang kebutuhan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yakni, (1) Pendidikan seks bagian dari kebutuhan remaja dalam memagari diri dari pergaulan bebas (2) Pendidikan seks belum tercantum dalam bagian kurikulum KTSP (3) Substansi pendidikan seks disajikan dalam beberapa mata pelajaran, antara lain; PPKn, Penjaskes, biologi, dan Pendidikan Agama Islam. (4) Integritas Pendidikan seks dan PAI berpatokan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang berpotensi dalam pengembangan pendidikan seks.
Kedua, pendalaman kajian kitab kuning tentang pendidikan seksualitas baik pondok pesantren, komunitas, dan majelis ta’lim. Salah satu kitab yang sering menjadi rujukan pondok pesantren dalam mengajarkan pendidikan seksualitas ialah Safinat al-Najah karya Salim ibn Abdullah ibn Sa’ad ibn Sumair al-Hadhrami, Kitab Matan Ghayah wa al-Taqrib karya Abu Syuja’ Ahmad Ibn Husain ibn Ahmad al-Asfihani (Bruinessen, 1995 :28) dan syarahnya, Kitab Fath al-Qarib al-Mujib karya Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi. Dalam Kitab Safinat al-Najah terbagi dua aspek keilmuan adalah akidah dan fiqih pada aspek ilmu fikih, diawali dengan materi thaharah (bersuci) yang diselipkan dengan pembahasan tanda balig seseorang, misalnya pada laki-laki terjadi mimpi basah dan pada perempuan telah keluar darah haid. Pembahasan ini juga melebar terkait kewajiban mandi setelah berhubungan badan suami dan isteri. Selanjutnya pada kitab Matan al-Taqrib dan syarahnya membeberkan perkara hubungan suami istri dalam ikatan pernikahan, perceraian, nusyuz dan zina dalam hukuman had nusyuz dan pembahasan zina dalam hukuman had. (Abu Syuja’: t.t).
Pendidikan seksualitas juga terselenggara di bulan Ramadhan, seperti ngaji kitab Kitab Uqud al-Lujain yang lebih membicarakan tentang hak dan tanggungjawab istri. Kitab ini terdiri empat fashal utama (a) Kewajiban suami terhadap istri (b) kewajiban istri terhadap suami (c) Keutamaan perempuan shalat di rumah (d) Larangan seorang laki-laki memandang perempuan yang bukan mahram dan sebaliknya. Dari bahasan tersebut, terlihat jelas pendidikan seksualitas menuntut kearah berkeluarga dan menolak secara keras premarital seks dan ekstra marital seks serta menolak keras pada seseorang memandang orang bukan mahramnya. Pandangan lain terkait tubuh perempuan dalam pandangan Nawawi dapat ditarik dua poin besar: (1) Keharaman memandang tubuh perempuan serta kesenjangan gender perempuan di ruang publik dengan alasan sumber segala fitnah dari tubuh perempuan. (2) Pada lingkup perempuan yang berkeluarga, tubuh istri adalah milik suami. pemikiran Nawawi beranggapan bahwa seluruh aktivitas seksualitas dikontrol oleh suami sehingga orang lain tidak ada hak di dalamnya.
Ketiga, bergabung komunitas peduli kekerasan seksual dan gender berbasis Islam dan mengikuti kelas seminar pendidikan. Komunitas semacam ini menjadi wadah mengedukasi masyarakat melalui berdiskusi pada acara workshop, dan seminar dengan tema yang menarik. Acara ini bertujuan untuk menyadarkan seseorang bahayanya keseringan mentoleran sikap kekerasan seksual dalam dirinya. Hal lumrah yang mereka alami telah melanggar sikap antar kemanusiaan. Sedangkan pentingnya bergabung dengan suatu komunitas kepedulian perempuan akan mendapatkan bimbingan, dukungan, pemulihan dan tempat pengaduan secara bersama-sama. Komunitas diyakini sebagai para lahirnya cendekiawan dan kritikus hebat dalam mendobrak masalah fenomena sosial terutama dalam mendesak kebijakan regulasi perempuan.
Keempat, tingkatkan literasi digital tentang kekerasan seksual. Literasi digital diyakini menjadi senjata ampuh dalam mempelajari kasus kekerasan seksual terbaru. Banyaknya informasi yang tersebar di media sosial menuntut seseorang sadar sebagai analitik dan kritik terhadap kasus yang ada. Akibatnya seseorang yang mempelajari kasus terdahulu dapat mengaplikasikan beberapa strategi untuk menghindari kasus semacam itu. Akan tetapi, dalam melakukan literasi digital juga harus didukung dengan ilmu-ilmu pendukung lainnya, utamanya dari kitab kuning yang telah disebutkan diatas. Maraknya social media specialist membahas tentang isu kekerasan gender dan kesetaraan gender lebih condong terhadap kepercayaan ideology masing-masing. Sehingga, perlunya penafsiran objektif dengan pandangan terbuka untuk dapat dipahami dan diterima. Itulah sebabnya, kajian kitab kuning dan ilmu agama lainnya tidak dapat ditinggalkan sampai kapanpun.
Kelima, menerapkan metode 5D (Dialihkan, Dilaporkan, Dokumentasi, Ditegur, Ditenangkan). Dalam menghadapi kekerasan seksual secara langsung baik offline maupun online, tidak cukup dengan memberitakan informasi yang telah kita miliki. Pentingnya menerapkan metode 5D kepada siapapun dan kapanpun menjadi solusi paling bermakna. Anindya Restuviani sebagai Site Leader dan Co-Director of Hollaback! Jakarta dalam acara virtual peluncuran kampanye Stand Up Against Street Harassment, Senin (8/3/2021) yang dilansir Kompas.com menyatakan cara menerapkan 5D yakni, (1) Dialihkan, mengalihkan pandangan dan perbincangan saat seseorang diganggu oleh orang yang merasa tidak nyaman (2) Dilaporkan, melaporkan ke orang terdekat dan komunitas untuk mengkonfirmasi realitas kejadian dan mencari dukungan keadilan korban (3) Dokumentasikan, dokumentasi menjadi barang bukti terkuat untuk melaporkan ke korban pada pihak yang berwenang (4) Ditegur, berikan teguran dengan tegas dan keras kepada pelaku supaya tidak mengulang indikasi kekerasan (5) Ditenangkan, pentingnya memberikan ketenangan dan rasa aman terhadap korban menjadi kebutuhan yang mendasar untuk korban mau menerima keadaan seperti semula.
Dari paparan diatas, dapat diketahui bahwa kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja dan dimana saja. Maka, pentingnya seseorang memperkuat pendidikan seksualitas islam dalam menanggulangi kekerasan seksual di masa pandemi diantaranya Pertama, Pendidikan Seksualitas yang terintegrasi dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Kedua, pendalaman kajian kitab kuning tentang pendidikan seksualitas baik pondok pesantren, komunitas, dan majelis ta’lim. Ketiga, bergabung komunitas peduli kekerasan seksual dan gender berbasis Islam dan mengikuti kelas seminar pendidikan. Keempat, tingkatkan literasi digital tentang kekerasan seksual. Kelima, menerapkan metode 5D (Dialihkan, Dilaporkan, Dokumentasi, Ditegur, Ditenangkan). Benteng perkuat diri bukan sekedar memperdalam pengetahuan pendidikan seksualitas Islam, namun perlu mengamalkan pendidikan seksualitas Islam dalam diri dan menyadarkan dan membantu korban kekerasan seksual. Begitu juga lembaga pemerintah dan lembaga hokum yang harus menegakkan regulasi dan hukuman pidana secara tegas. Sehingga seluruh elemen masyarakat dapat bersinergi untuk menciptakan lingkungan ‘‘Zero Telorean Kekerasan Seksual’’.
Referensi
DPR RI. (2021). Angka Kekerasan Meningkat, RUU PKS Harus Segera Disahkan. https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/32146/t/Angka+Kekerasan+Meningkat%2C+RUU+PKS+Harus+Segera+Disahkan
Kompas.com. (2021a). Apakah Kita Jadi Korban Kekerasan Online? Ini Cara Memastikannya [Berita]. https://lifestyle.kompas.com/read/2021/04/20/130516620/apakah-kita-jadi-korban-kekerasan-online-ini-cara-memastikannya.
Kompas.com. (2021b). Sejak Awal Januari, Kementerian PPPA Catat 426 Kasus Kekerasan Seksual. https://nasional.kompas.com/read/2021/03/19/17082571/sejak-awal-januari-kementerian-pppa-catat-426-kasus-kekerasan-seksual.
Mutimmatul Faidah. (2010). Intregrasi Pendidikan Seks Dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam [Disertasi]. IAIN Sunan Ampel.
Alfia Ainun Nikmah (PAI A 2019)